
Bestprofit (30/10) – Harga emas kembali melemah di bawah level psikologis $3.950 per ons, setelah pernyataan terbaru dari Ketua Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell, yang menegaskan bahwa pemangkasan suku bunga pada Desember bukanlah sesuatu yang pasti. Pernyataan tersebut mengguncang ekspektasi pasar yang sebelumnya menilai peluang besar terhadap penurunan suku bunga lanjutan sebesar 25 basis poin. Akibatnya, imbal hasil Treasury AS tenor 10 tahun naik di atas 4%, menambah tekanan pada logam mulia yang tidak memberikan imbal hasil langsung.
Pernyataan Powell dan Dampaknya terhadap Ekspektasi Pasar
Dalam konferensi pers pasca keputusan suku bunga terbaru, Powell menekankan bahwa The Fed akan tetap bergantung pada data dan tidak akan berkomitmen pada arah kebijakan moneter berikutnya. Pesan ini mengisyaratkan bahwa meski ada tanda-tanda pelambatan ekonomi, tingkat inflasi inti masih berada di atas target 2%, sehingga ruang bagi pelonggaran kebijakan masih terbatas.
Pasar keuangan segera bereaksi terhadap pernyataan tersebut. Sebelum pidato Powell, pelaku pasar memperkirakan peluang sekitar 70% bahwa The Fed akan memangkas suku bunga lagi pada bulan Desember. Namun setelah pernyataan itu, probabilitas tersebut turun tajam menjadi sekitar 40%, menekan aset-aset yang sensitif terhadap suku bunga rendah seperti emas.
Kenaikan Imbal Hasil Treasury: Pukulan Ganda bagi Emas
Salah satu konsekuensi langsung dari sikap hati-hati The Fed adalah kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS. Imbal hasil Treasury tenor 10 tahun naik menembus level 4%, yang berarti biaya peluang untuk memegang emas—sebuah aset tanpa imbal hasil—menjadi lebih tinggi.
Secara ekonomi, ketika imbal hasil obligasi meningkat, investor cenderung beralih dari emas ke aset berbunga karena potensi keuntungan yang lebih menarik. Selain itu, kenaikan yield juga meningkatkan biaya pembiayaan dan penyimpanan emas batangan, memperlemah daya tarik logam mulia sebagai aset lindung nilai (hedging asset). Kondisi ini memperburuk tekanan harga emas di pasar spot dan futures.
Kunjungi juga : bestprofit futures
Kebijakan The Fed: Pemangkasan 25 Basis Poin dan Akhir Pengurangan Neraca
Menariknya, pelemahan harga emas terjadi meskipun The Fed baru saja memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin, membawa kisaran target suku bunga acuan menjadi 3,75%–4,00%. Keputusan ini juga disertai dengan pengumuman penting lainnya—rencana untuk mengakhiri kebijakan pengurangan neraca (quantitative tightening) pada bulan Desember mendatang.
Langkah tersebut secara teori bersifat dovish, karena memperluas likuiditas di sistem keuangan dan menekan suku bunga riil jangka pendek. Biasanya, kondisi ini menjadi pendorong positif bagi emas karena menurunkan biaya peluang kepemilikan aset tanpa imbal hasil. Namun, efek dovish ini teredam oleh sinyal kehati-hatian Powell, yang menegaskan bahwa pelonggaran moneter lanjutan tidak dijamin.
Kombinasi antara pelonggaran terbatas dan peringatan kebijakan ini menciptakan sentimen pasar yang ambigu, di mana pelaku pasar menahan diri untuk kembali meningkatkan posisi beli (long position) pada emas.
Faktor Fundamental yang Masih Menopang Harga Emas
Meskipun tekanan jangka pendek meningkat, beberapa faktor fundamental tetap memberikan dukungan struktural terhadap harga emas. Salah satunya adalah pembelian resmi oleh bank sentral di seluruh dunia. Selama beberapa tahun terakhir, terutama sejak 2022, bank sentral negara berkembang seperti Tiongkok, India, dan Turki terus meningkatkan cadangan emas mereka sebagai diversifikasi terhadap dolar AS dan risiko geopolitik.
Selain itu, akumulasi ETF berbasis emas juga menunjukkan tanda-tanda peningkatan. Setelah mengalami arus keluar selama paruh pertama tahun ini, data terbaru memperlihatkan kembalinya arus masuk bersih ke sejumlah produk investasi berbasis emas. Hal ini memperketat pasokan logam fisik di bursa dan saluran resmi, menciptakan dasar harga (price floor) yang relatif kuat di kisaran $3.900 per ons.
Peran Likuiditas Global dan Pengaruh Mata Uang Dolar AS
Kebijakan moneter The Fed juga berpengaruh langsung terhadap likuiditas global dan nilai tukar dolar AS. Meskipun suku bunga AS cenderung masih tinggi, keputusan untuk menghentikan pengurangan neraca pada Desember berarti likuiditas dolar akan meningkat secara bertahap. Secara historis, kondisi seperti ini biasanya mendukung aset berdenominasi dolar seperti emas.
Namun, jika dolar AS menguat karena kenaikan imbal hasil obligasi, maka harga emas yang diperdagangkan dalam dolar akan relatif lebih mahal bagi pemegang mata uang lain, sehingga menekan permintaan global. Dengan demikian, arah nilai tukar dolar menjadi faktor kunci dalam menentukan pergerakan harga emas beberapa bulan ke depan.
Ketidakpastian Makro dan Risiko Global: Penopang Jangka Panjang
Di luar kebijakan moneter, ketidakpastian makroekonomi global tetap menjadi pendorong utama bagi permintaan emas sebagai aset safe haven. Konflik geopolitik yang masih berlangsung di Eropa Timur dan Timur Tengah, ketegangan perdagangan antara AS dan Tiongkok, serta perlambatan pertumbuhan di beberapa ekonomi besar, menciptakan lingkungan risiko tinggi yang biasanya mendorong investor beralih ke emas.
Selain itu, kekhawatiran terhadap potensi penurunan nilai mata uang (currency debasement) akibat ekspansi fiskal dan moneter di berbagai negara juga memperkuat daya tarik emas sebagai penyimpan nilai (store of value). Dalam konteks ini, emas bukan sekadar komoditas, tetapi instrumen lindung nilai terhadap ketidakpastian ekonomi dan inflasi jangka panjang.
Perdagangan AS–Tiongkok dan Dampaknya terhadap Arus Safe Haven
Kemajuan dalam kerangka perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok baru-baru ini sedikit meredakan ketegangan pasar, yang sebelumnya mendorong permintaan safe haven. Namun, para analis menilai bahwa perbaikan hubungan dagang ini bersifat sementara, karena perbedaan mendasar terkait teknologi, keamanan data, dan rantai pasok strategis masih belum terselesaikan.
Dengan demikian, meskipun arus masuk ke aset safe haven seperti emas mungkin sedikit berkurang, faktor pendorong yang lebih dalam—yakni ketidakpastian jangka panjang dan risiko geopolitik—masih tetap eksis. Hal ini menjelaskan mengapa harga emas tidak jatuh lebih dalam meskipun tekanan dari sisi suku bunga meningkat.
Prospek Emas ke Depan: Konsolidasi Sebelum Kenaikan Baru?
Para analis memperkirakan bahwa harga emas akan bergerak dalam pola konsolidasi pada kisaran $3.850–$4.000 per ons dalam jangka pendek. Tekanan dari kenaikan imbal hasil dan penguatan dolar kemungkinan masih akan menahan kenaikan harga, tetapi permintaan fundamental dari bank sentral dan investor institusional dapat menjadi bantalan utama.
Jika data inflasi AS beberapa bulan ke depan menunjukkan pelemahan yang signifikan, peluang pemangkasan suku bunga Desember bisa kembali meningkat—dan hal ini berpotensi mendorong reli baru pada harga emas menuju level $4.050–$4.100 per ons. Sebaliknya, jika inflasi bertahan tinggi, emas mungkin akan tetap bergerak mendatar di sekitar level saat ini.
Kesimpulan: Antara Ketidakpastian Kebijakan dan Fondasi Kuat Emas
Pelemahan emas di bawah $3.950 per ons mencerminkan ketegangan antara sinyal kebijakan moneter yang hati-hati dari The Fed dan kekuatan fundamental jangka panjang dari logam mulia ini. Kenaikan imbal hasil Treasury dan penguatan dolar memberi tekanan jangka pendek, namun pembelian bank sentral, peningkatan ETF, dan risiko makro global memberikan dukungan berkelanjutan.
Dalam lanskap ekonomi global yang penuh ketidakpastian, emas tetap memegang peran penting sebagai penyeimbang portofolio dan pelindung nilai jangka panjang. Meskipun jalannya tidak selalu mulus, fondasi struktural yang kuat menunjukkan bahwa emas masih akan menjadi salah satu aset paling tangguh di tengah dinamika ekonomi dan geopolitik dunia yang terus berubah.
Jangan lupa jelajahi website kami di demo bestprofit dan temukan beragam informasi menarik yang siap menginspirasi dan memberikan pengetahuan baru! Ayo, kunjungi sekarang untuk pengalaman online yang menyenangkan!