Tuesday 12 May 2015
Alasan BI Tidak Turuti Pemerintah Turunkan Suku Bunga
BESTPROFIT FUTURES MALANG (13/5) - Pemerintah dan Bank Indonesia (BI)
sepertinya memiliki pandangan yang cukup berbeda terkait kebijakan suku
bunga. Seperti diketahui pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal I
2015 lalu mencatat laju paling rendah secara kuartalan sejak 2009 silam.
Pasalnya, hal ini yang kemudian membuat Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI
berpendapat bahwa BI harus menurunkan suku bunganya atau dengan kata
lain menerapkan kebijakan moneter longgar.
Namun sayang, pendapat Kalla tidak
sejalan dengan Gubernur BI, Agus Martowardojo, yang menegaskan akan
tetap kukuh dengan kebijakan moneter ketat. Adapun Tujuan
BI mempertahankan kebijakan moneter ketat ini adalah untuk mengendalikan
ekspektasi inflasi dan mengelola tekanan eksternal, seperti diketahui
inflasi Indonesia pada April lalu mencatat laju tertingginya dan
dikhawatirkan masih dapat terus melonjak dalam beberapa bulan ke depan
mengingat hari raya Idul Fitri semakin dekat.
Sebelumnya telah digadang-gadang bahwa
Presiden Joko Widodo akan mendorong pertumbuhan ekonomi tanah air dengan
rata-rata 7 persen hingga 2019 mendatang. Namun, ternyata, pertumbuhan
tahun 2015 ini masih terlihat lambat, setidaknya tercermin dari catatan
kuartal I yang hanya tumbuh 4,7 persen. dimana laju pertumbuhan itu
adalah yang terlemah sejak 2009.
BI hingga kini akan terus berupaya untuk
menyeimbangkan tekanan yang datang dari pemerintah yang kerap meminta
pihaknya untuk menurunkan suku bunga demi mendorong pertumbuhan.
Pasalnya bukan hanya pertumbuhan ekonomi saja yang harus menjadi fokus
pemerintah dan BI tetapi mengendalikan inflasi dan menekan defisit
neraca transaksi berjalan demi menopang rupiah juga merupakan tugas
penting yang harus segera diatasi bersama dalam jangka pendek ini.
Seperti sudah diberitakan sebelumnya,
ruang BI untuk memangkas suku bunganya dalam waktu dekat cukup tertutup.
Inflasi yang cukup tinggi bulan lalu telah berdampak pada terbatasnya
kebijakan moneter longgar ke depan dan pasar tampaknya tidak akan
menyambut positif keputusan pemangkasan suku bunga, sedangkan
rupiah saat ini berada dalam tekanan jual.
BI baru akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) untuk membahas
kebijakan moneter pada 19 Mei mendatang. Terkait RDG ini, BI mengatakan
bahwa bank sentral akan tetap berkoordinasi dengan pemerintah, tetapi
setiap hasil keputusan moneter tetap akan berkhiblat pada data ekonomi
Tanah Air. BI sendiri optimis bahwa tanpa harus menerapkan kebijakan
moneter longgar, pertumbuhan ekonomi dapat terpacu lebih optimal ketika
pemerintah mulai membelanjakan anggarannya.
Sumber : Vibiznews
Proyeksi Permintaan Meningkat, Harga Minyak Mentah Melambung
BESTPROFIT FUTURES MALANG (13/5) - Harga minyak mentah naik pada penutupan perdagangan Selasa (Rabu pagi waktu Jakarta) setelah adanya perkiraan kenaikan permintaan akan minyak mentah yang dikeluarkan oleh dua lembaga.
Mengutip Wall Street Journal, Rabu (13/5/2015), minyak mentah jenis Light untuk pengiriman Juni naik US$ 1,50 atau 2,5 persen menjadi US$ 60,75 per barel di New York Mercantile Exchange, Amerika Serikat (AS). Sedangkan minyak mentah jenis Brent, yang menjadi patokan harga global, menguat US$ 1,95 atau 3 persen menjadi US$ 66,86 per barel di ICE Futures Europe exchange.
Organisasi negara-negara pengekspor minyak atau Organization of The Petroleum Exporting Countries (OPEC) pada Selasa (12/5/2015) mengeluarkan proyeksi permintaan minyak mentah untuk tahun ini. Dalam proyeksi tersebut, OPEC memperkirakan bahwa permintaan minyak berada di level 92,5 juta barel per hari atau naik 50 ribu barel per hari jika dibanding dengan proyeksi yang dikeluarkan pada bulan April 2015 lalu.
Dalam laporan yang terpisah, Departemen Energi Amerika Serikat atau The U.S. Energy Information Administration mengeluarkan data proyeksi bahwa pada 2015 ini permintaan global akan naik di kisaran 190 ribu barel per hari atau menjadi 93,28 juta barel per hari.
Alasan yang menjadi dasar dua lembaga tersebut menaikkan proyeksi permintaan minyak mentah adalah adanya prospek perbaikan ekonomi di Eropa didorong oleh rendahnya harga minyak yang rendah. Eropa memang sedang menghadapi krisis, namun karena harga minyak cukup rendah setidaknya selama enam bulan ini membuat biaya produksi turun sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut.
Harga minyak di Amerika dan dunia mendekati level tertingi pada tahun ini setelah sebelumnya turun sekitar 40 persen dari level tertinggi yang ditorehkan pada Juni 2014 lalu atau ketika harga masih berada di atas US$ 100 per barel.
Harga minyak telah jatuh pada akhir 2014 lalu karena pertumbuhan produksi yang cukup cepat dan penurunan permintaan. Tetapi pasar kembali pulih dalam beberapa minggu terakhir karena ekspektasi penurunan produksi di Amerika Serikat.
Dalam laporan Departemen Energi Amerika Serikat yang dikeluarkan pada Senin (11/5/2015) kemarin menunjukkan bahwa produksi minyak mentah dari tujuh wilayah turun 54 ribu barel per hari pada Mei 2015. Sedangkan pada Juni 2015 diperkirakan produksi juga akan turun 86 ribu barel per hari.
"Prediksi dari Departemen Energi Amerika tersebut tentu saja memberikan dukungan ke pasar untuk mengantisipasi penurunan produksi minyak mentah selama beberapa bulan ke depan pada saat yang bersamaan terjadi peningkatan permintaan akan minyak global," jelas Direktur Perusahaan konsultan Minyak Lipow Oil Associates, Andy Lipow.
Di awal 2015 ini, persediaan minyak mentah di Amerika sebenarnya terus berada di level tertinggi dalam 80 tahun terakhir. Namun angka persediaan tersebut jatuh untuk pertama kalinya pada pekan yang berakhir pada 1 Mei 2015 lalu. Penyebab jatuhnya persediaan minyak di AS tersebut karena kenaikan permintaan dan penurunan produksi.
Berbeda dari data yang dikeluarkan oleh Departemen Energi AS, analis yang disurvei oleh Wall Street Journal menyebutkan bahwa pasokan minyak mentah akan naik 100 ribu barel pada pekan lalu. Analis juga memperkirakan bahwa persediaan bahan bakar minyak anak naik 400 ribu barel pada minggu lalu.
Pada hari ini, Departemen Energi AS akan mengeluarkan data persediaan mingguan. The American Petroleum Institute, sebuah kelompok industri minyak, menyatakan bahwa pasokan minyak mentah telah turun 2 juta barel. (Gdn)
Sumber : Liputan6
Mengutip Wall Street Journal, Rabu (13/5/2015), minyak mentah jenis Light untuk pengiriman Juni naik US$ 1,50 atau 2,5 persen menjadi US$ 60,75 per barel di New York Mercantile Exchange, Amerika Serikat (AS). Sedangkan minyak mentah jenis Brent, yang menjadi patokan harga global, menguat US$ 1,95 atau 3 persen menjadi US$ 66,86 per barel di ICE Futures Europe exchange.
Organisasi negara-negara pengekspor minyak atau Organization of The Petroleum Exporting Countries (OPEC) pada Selasa (12/5/2015) mengeluarkan proyeksi permintaan minyak mentah untuk tahun ini. Dalam proyeksi tersebut, OPEC memperkirakan bahwa permintaan minyak berada di level 92,5 juta barel per hari atau naik 50 ribu barel per hari jika dibanding dengan proyeksi yang dikeluarkan pada bulan April 2015 lalu.
Dalam laporan yang terpisah, Departemen Energi Amerika Serikat atau The U.S. Energy Information Administration mengeluarkan data proyeksi bahwa pada 2015 ini permintaan global akan naik di kisaran 190 ribu barel per hari atau menjadi 93,28 juta barel per hari.
Alasan yang menjadi dasar dua lembaga tersebut menaikkan proyeksi permintaan minyak mentah adalah adanya prospek perbaikan ekonomi di Eropa didorong oleh rendahnya harga minyak yang rendah. Eropa memang sedang menghadapi krisis, namun karena harga minyak cukup rendah setidaknya selama enam bulan ini membuat biaya produksi turun sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut.
Harga minyak di Amerika dan dunia mendekati level tertingi pada tahun ini setelah sebelumnya turun sekitar 40 persen dari level tertinggi yang ditorehkan pada Juni 2014 lalu atau ketika harga masih berada di atas US$ 100 per barel.
Harga minyak telah jatuh pada akhir 2014 lalu karena pertumbuhan produksi yang cukup cepat dan penurunan permintaan. Tetapi pasar kembali pulih dalam beberapa minggu terakhir karena ekspektasi penurunan produksi di Amerika Serikat.
Dalam laporan Departemen Energi Amerika Serikat yang dikeluarkan pada Senin (11/5/2015) kemarin menunjukkan bahwa produksi minyak mentah dari tujuh wilayah turun 54 ribu barel per hari pada Mei 2015. Sedangkan pada Juni 2015 diperkirakan produksi juga akan turun 86 ribu barel per hari.
"Prediksi dari Departemen Energi Amerika tersebut tentu saja memberikan dukungan ke pasar untuk mengantisipasi penurunan produksi minyak mentah selama beberapa bulan ke depan pada saat yang bersamaan terjadi peningkatan permintaan akan minyak global," jelas Direktur Perusahaan konsultan Minyak Lipow Oil Associates, Andy Lipow.
Di awal 2015 ini, persediaan minyak mentah di Amerika sebenarnya terus berada di level tertinggi dalam 80 tahun terakhir. Namun angka persediaan tersebut jatuh untuk pertama kalinya pada pekan yang berakhir pada 1 Mei 2015 lalu. Penyebab jatuhnya persediaan minyak di AS tersebut karena kenaikan permintaan dan penurunan produksi.
Berbeda dari data yang dikeluarkan oleh Departemen Energi AS, analis yang disurvei oleh Wall Street Journal menyebutkan bahwa pasokan minyak mentah akan naik 100 ribu barel pada pekan lalu. Analis juga memperkirakan bahwa persediaan bahan bakar minyak anak naik 400 ribu barel pada minggu lalu.
Pada hari ini, Departemen Energi AS akan mengeluarkan data persediaan mingguan. The American Petroleum Institute, sebuah kelompok industri minyak, menyatakan bahwa pasokan minyak mentah telah turun 2 juta barel. (Gdn)
Sumber : Liputan6
Penurunan Imbal Hasil Obligasi Bikin Wall Street Tertekan
BESTPROFIT FUTURES MALANG (13/5) - Saham-saham di Amerika Serikat (AS) kembali melorot untuk hari kedua bergabung dengan penurunan yang terjadi di pasar saham global. Salah satu sentimen yang menjadi pendorong pelemahan Wall Street adalah penurunan imbal hasil di pasar obligasi.
Mengutip Bloomberg, Rabu (13/5/2015), Indeks Standard & Poor 500 turun 0,3 persen menjadi 2.090,08 pada pukul 04.00 sore waktu New York, Amerika Serikat. Apa yang terjadi di indeks patokan tersebut seirama dengan yang dialami oleh imbal hasil surat utang dengan jangka waktu 10 tahun yang mengalami penurunan dari level tertinggi sejak November tahun lalu.
"Bila Anda membeli saham saat indeks acuan berada di level tertinggi, Anda harus banyak-banyak berharap akan adanya berita baik daripada yang ada saat ini," jelas analis saham Miller Tabak & Co, Matt Maley. Menurutnya, satu atau dua sentimen positif masih sulit untuk mendorong Wall Street untuk bisa kembali ke puncak rekor tertinggi.
Penurunan Indeks Standard & Poor 500 didorong oleh turunnya saham-saham di sektor energi karena harga minyak mentah tak kunjung pulih. Sektor saham energi memang terus tertekan sejak Januari 2015 lalu setelah harga minyak berada di level terendah dalam sejarah.
Penurunan imbal hasil surat utang ternyata berpengaruh ke instrumen investasi lain seperti saham. Penurunan tersebut terjadi setelah adanya pelonggaran kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Sentral Eropa.
Di pasar saham AS sendiri para investor masih menunggu kejelasan mengenai rencana kenaikan suku bunga acuan yang bakal dilakukan oleh The Fed. Sebagian besar pelaku pasar melihat bahwa kemungkinan besar Bank Sentral AS belum akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat ini.
Pasalnya, tanda-tanda pemulihan ekonomi belum nampak jelas yang terlihat dari data-data yang ada. Meskipun angka pengangguran telah berada di level terbaik sejak krisis yang terjadi pada 2008 lalu, namun angka lain seperti peningkatan gaji dan inflasi belum terlalu mendukung.
Pada perdagangan kemarin, Wall Street juga melemah. Pelemahan indeks saham acuan di bursa saham AS didorong kekhawatiran investor terhadap Yunani. Investor pesimistis terhadap pertemuan menteri Keuangan Eropa yang membahas kesepakatan reformasi untuk Yunani soal pembayaran utangnya. Yunani membayar utang sekitar 750 juta euro atau sekitar US$ 836 juta kepada Dana Moneter Internasional (IMF).
Selain sentimen Yunani, investor juga fokus melihat perkembangan kondisi ekonomi China. Bank sentral China telah memangkas suku bunga ketiga kalinya dalam enam bulan yang diharapkan dorong pertumbuhan ekonomi. (Gdn)
Sumber : Liputan6
Mengutip Bloomberg, Rabu (13/5/2015), Indeks Standard & Poor 500 turun 0,3 persen menjadi 2.090,08 pada pukul 04.00 sore waktu New York, Amerika Serikat. Apa yang terjadi di indeks patokan tersebut seirama dengan yang dialami oleh imbal hasil surat utang dengan jangka waktu 10 tahun yang mengalami penurunan dari level tertinggi sejak November tahun lalu.
"Bila Anda membeli saham saat indeks acuan berada di level tertinggi, Anda harus banyak-banyak berharap akan adanya berita baik daripada yang ada saat ini," jelas analis saham Miller Tabak & Co, Matt Maley. Menurutnya, satu atau dua sentimen positif masih sulit untuk mendorong Wall Street untuk bisa kembali ke puncak rekor tertinggi.
Penurunan Indeks Standard & Poor 500 didorong oleh turunnya saham-saham di sektor energi karena harga minyak mentah tak kunjung pulih. Sektor saham energi memang terus tertekan sejak Januari 2015 lalu setelah harga minyak berada di level terendah dalam sejarah.
Penurunan imbal hasil surat utang ternyata berpengaruh ke instrumen investasi lain seperti saham. Penurunan tersebut terjadi setelah adanya pelonggaran kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Sentral Eropa.
Di pasar saham AS sendiri para investor masih menunggu kejelasan mengenai rencana kenaikan suku bunga acuan yang bakal dilakukan oleh The Fed. Sebagian besar pelaku pasar melihat bahwa kemungkinan besar Bank Sentral AS belum akan menaikkan suku bunga dalam waktu dekat ini.
Pasalnya, tanda-tanda pemulihan ekonomi belum nampak jelas yang terlihat dari data-data yang ada. Meskipun angka pengangguran telah berada di level terbaik sejak krisis yang terjadi pada 2008 lalu, namun angka lain seperti peningkatan gaji dan inflasi belum terlalu mendukung.
Pada perdagangan kemarin, Wall Street juga melemah. Pelemahan indeks saham acuan di bursa saham AS didorong kekhawatiran investor terhadap Yunani. Investor pesimistis terhadap pertemuan menteri Keuangan Eropa yang membahas kesepakatan reformasi untuk Yunani soal pembayaran utangnya. Yunani membayar utang sekitar 750 juta euro atau sekitar US$ 836 juta kepada Dana Moneter Internasional (IMF).
Selain sentimen Yunani, investor juga fokus melihat perkembangan kondisi ekonomi China. Bank sentral China telah memangkas suku bunga ketiga kalinya dalam enam bulan yang diharapkan dorong pertumbuhan ekonomi. (Gdn)
Sumber : Liputan6
Emas Melonjak Tajam Dalam Sepekan Terakhir
BESTPROFIT FUTURES MALANG (13/5) - Emas
berjangka naik tajam dalam sepekan terakhir pasca penurunan dolar dan
reli minyak mentah dunia sehingga mendorong daya tarik emas sebagai
penyimpan nilai.
Greenback
melanjutkan penurunannya setelah penurunan pada April yang menghentikan
reli sembilan bulan terhadap sekumpulan 10 mata uang, sementara minyak
telah melonjak lebih dari 40% dari level terendah di 2015. Emas secara
historis telah menjadi sebagai aset alternatif terhadap dolar dan
sebagai nilai lindung terhadap meningkatnya biaya konsumen.
Emas
berjangka untuk pengiriman Juni naik 0,8% untuk menetap di level $
1,192.40 per ons pada 1:50 di Comex New York, yang merupakan kenaikan
terbesar sejak 4 Mei.
Perak
untuk pengiriman Juli naik 1,3% menjadi $ 16,526 per ons. Sebelumnya,
harga menyentuh level $ 16,12, yang terendah untuk kontrak teraktif
sejak 1 Mei.
Platinum
berjangka untuk pengiriman Juli naik 0,5% menjadi $ 1.133 per ons di
New York Mercantile Exchange. Palladium berjangka untuk pengiriman Juni
naik 0,6% menjadi $ 785,15 per ons.(yds)
Sumber: Bloomberg
Bursa Saham AS Di tutup Turun 0.3%
BESTPROFIT FUTURES MALANG (13/5) - Saham-saham
AS melemah untuk hari kedua, bergabung dengan pelemahan di bursa saham
global setelah kekalahan di pasar fix-income menyebar ke ekuitas.
Indeks
Standard & Poor 500 turun 0,3% ke level 2,099.08 pada pukul 4 sore
di New York. Indeks tersebut menghapus penurunan sebesar 0,9% setelah
imbal hasil Treasuri dengan tenor 10-tahun melemah dari level tertinggi
sejak November tahun lalu. Indeks acuan mengakhiri perdagangan hari
Jumat, pekan lalu, berada dua poin dari rekor sebelum memulai minggu ini
dengan penurunan.
Indeks
S&P 500 mempertahankan penurunannya setelah Treasuri berbalik, dan
saham energi menguat dengan harga minyak mentah setelah kelompok saham
energi pada hari Senin mengalami penurunan terbesar sejak Januari yang
lalu.(frk)
Sumber: Bloomberg
Subscribe to:
Posts (Atom)