Dalam setahun terakhir pelemahan kurs terbesar (relatif terhadap
USD) di pasar valas dunia dialami oleh Sudan Selatan (sebesar
71.40%).
Figur tersebut disusul negara Ukraina (melemah 71.10%) dan Rusia
(melemah 69.70%). Di kawasan Asia, pelemahan kurs terbesar dialami
negara
Kazakhstan (58%), disusul Malaysia posisi 5 melemah 32.30%,
Myanmar posisi 6 melemah 31.60% dan Indonesia posisi 10 melemah 20%
dalam setahun terakhir.
Tahun lalu tanggal 18 September 2014 kurs IDR masih bernilai 11962
per USD. Pada saat itu, terkait ranah risiko, yield obligasi
Pemerintah Indonesia
bertenor 10 tahun masih 8.28%, sementara kini sudah 9.41% dengan
tren naik yang cepat (harga obligasi menurun drastis beberapa hari
ini). Pemerintah perlu memberi perhatian khusus dan lebih serius akan
perubahan figur ini apabila masih ingin bersikap preventif dalam
mitigasi risiko. Tahun lalu yield obligasi pemerintah US bertenor 10
tahun masih 2.61%, relatif jauh lebih tinggi dibanding yield US saat
ini, 2.28% (data per tanggal 17 September 2015, mid-day-figure).
Pertanda apa ini? Ini tanda bahwa arus modal dunia masih tetap
mengalir deras ke US dan berkurang ke negara-negara lain, termasuk
Indonesia.
Dalam seminggu terkini, pergerakan USDIDR turun-naik dalam rentang
14260-14450. Kurs seakan tertahan di rentang itu dan bak berupaya
agar pelemahan tak berlanjut, seakan berupaya agar resistan Rp 15000
per USD tidak jebol. Apapun kini yang sedang dilakukan oleh
Pemerintah terkait pelemahan kurs, apakah sudah efektif dan taktis?
Belum dan tidak sama sekali, walaupun tidak ada salahnya mencoba.
Jika otoritas moneter kinisedang berupaya menahan pelemahan lanjut
terhadap Rupiah hanya melalui inisiatif operasi pasar, maka itu sama
saja dengan berusaha memperbaiki susubasi sebelanga dengan modal nila
setitik. Nilai cadangan devisa domestik tiada artinya dibandingkan
dengan kapitalisasi pasar valas internasional. Intervensi pasar valas
adalah proposisi yang sangat mahal. Apapun yang terjadi dengan Rupiah
amat terkait dengan risk event di pasar modal. Dalam seminggu
terakhir figur ID-GB yield 10-thn yanga naik tajam (9.40%). Ini suatu
sinyal yang murni dari pasar.
Melansir paket kebijakan ekonomi sekaligus adalah tidak efektif.
Pemerintah harus segera menerapkan kebijakan yang dilansir bertahap
agar efektivitasnya terukur secara taktis. Rupiah membutuhkan
mitigasi risiko taktis dengan dampak terukur jangka pendek. Kondisi
Rupiah saat ini bukanlah hal normal yang dapat dihadapi melalui
pendekatansuasif atau metode konvensional. Ini merupakan tanggung
jawab Pemerintah dan tugas utama dari tim ekonomi terkini.
Oleh : Tumpal Sihombing
Chief Research Officer
Bestprofit Futures