Dalam industri Perdagangan Berjangka
Komoditi (PBK) dikenal istilah bilateral dan multilateral. Ala
bilateral (OTC, Over The Counter atau transaksi di luar bursa)
dikenal adanya Sistem Perdagangan Alternatif (SPA). Sementara ala
multilateral, kegiatannya berplatform exchange, berbentuk bursa.
Dalam ranah ekonomi, pasar adalah pertemuan antara supply dan demand.
Dalam definisi ekonomi, pasar tak harus berupa tempat fisik (eq. :
pasar senen, pasar minggu, dlsb.), namun lebih merupakan ajang
transaksional dimana ada “barang dan harga” yang disepakati oleh
penjual/pembeli. Dalam sejarah ekonomi, pasar ditrigger oleh
transaksi ala barter yang faktanya bilateral. Tanpa bilateral,
transaksi multilateral takkan hadir di bumi ini. Begitulah proses
evolusi terbentuknya pasar.
Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun
2011, yang merupakan hasil amandemen UU Nomor 32 tahun 1997 tentang
Perdagangan Berjangka Komoditi mengatur perihal legalitas jenis
instrumen yang boleh diperdagangkan dalam industri. Dalam UU
tersebut, baik transaksi ala bilateral maupun multilateral adalah
sesuatu yang halal legal. Tak ada sesuatu yang dilematis antara
transaksi bilateral dengan multilateral. Keduanya berperan besar
dalam memperbesar total kue industri PBK domestik. Jika ada yang
bersikap normatif dengan menilai keduanya adalah kontradiktif, maka
praktek transaksi ala OTC yang juga berlangsung dalam pasar efek
obligasi bahkan valas seharusnya juga disikapi pesimis dengan
mempertentangkan bilateral versus multilateral. Itu adalah sesuatu
yang absurd, obsolete, dan irelevan dalam konteks pengembangan pasar
secara khusus dan pembangunan ekonomi secara umum. Opini dan sikap
pengamat yang selalu mempertentangkan bilateral versus multilateral
inilah yang membuat potensi industri PBK di tanah air sulit
terealisir.
Dalam suatu event edukasi di Bursa
Berjangka Jakarta (Jakarta Future Exchange-JFX), tegas dinyatakan
bahwa transaksi multilateral merupakan sesuatu yang mirip dengan
transaksi bilateral, hanya saja berbeda dalam platform sistem dan
penyelenggaraannya. Yang berarti, antara kedua jenis transaksi ini,
perbedaannya lebih mengarah pada sesuatu yang bersifat operasional di
tingkat lapangan, bukan sesuatu yang harus disikapi penuh kontradiksi
di level normatif konstitusional. Memang dalam upaya pialang saat di
lapangan, prinsip KYC (know your customers) adalah sesuatu yang
necessary, yang membutuhkan
tingkat pengetahuan tertentu perihal kesesuaian antara risiko dari
produk investasi yang ditawarkan, serta profil nasabah yang ditawari
(yang berinvestasi).
Tak
bisa dipungkiri bahwa dalam perjalanan sejarah transaksi ala
bilateral, ada banyak muncul kasus. Namun hal itu tak berarti bahwa
transaksi multilateral jadi bebas kasus. Ranah PBK sedang menjalani
proses evolusi yang wajar dalam hal praktek pelaku di lapangan maupun
aspek konstitusionalnya. De facto dan de jure, transaksi bilateral
dan multilateral adalah dynamic duo yang membangun PBK.
Oleh
: Tumpal Sihombing
Chief
Research Officer
Bestprofit
Futures