Berdasarkan data yang sudah dirilis
pekan lalu, dapat dilihat bahwa aktivitas sektor manufaktur di kawasan
eropa dan tiongkok berjalan lambat. Melambatnya aktivitas di kedua
wilayah ini disebabkan oleh meningkatnya ketegangan politik yang
dipandang telah cukup mengancam perdagangan dan prospek stabilitas
ekonomi global.
Seperti kita ketahui, PMI Manufaktur di
kawasan euro jatuh menjadi 50,8 di bulan agustus ini dari 51,8 pada
bulan Juli. Skor ini merupakan level terendah dalam 13 bulan terakhir.
Kemudian di Tiongkok, indikator yang sama juga digunakan untuk mengukur,
dimana PMI manfakturnya turun menjadi 50,3 pada bulan agustus dari
51,7.
Pemulihan perekonomian di kawasan euro
yang telah terkena resesi terpanjang pada kuartal kedua lalu, terancam
akan terus berkelanjutan hingga kuartal ketiga mendatang karea tingkat
inflasi yang rendah dan sanksi yang diberikan kepada Rusia oleh pihak AS
dan sekutu. Sedangkan di Tiongkok, perlambatan kredit menambah risiko
bagi negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia ini, akan kehilangan
target pertumbuhannya pada tahun ini.
Ketegangan geopolitik masih akan
berlanjut hingga beberapa bulan mendatang, kemudian penurunan aliran
kredit atau pinjaman di Tiongkok juga terlihat konsisten sehingga
menghambat pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Sedangkan pemulihan
ekonomi di kawasan euro pun msdih terlalu lambat untuk membuat perubahan
di pasar global.
Dari kawasan eropa sendiri, indikator
komposit aktivitas di sektor manufaktur dan jasa turun menjadi 52,8 di
bulan agustus dari 53,8 pada bulan Juli. Indikator ini juga
mengisyaratkan terjadi stagnansi pertumbuhan terhadap 3 negara dengan
ekonomi terkuat di Eropa antara lain Jerman, Prancis dan Italia, ketiga
negara ini secara tiba-tiba mengalami kegagalan pertumbuhan. Dengan
inflasi di bawah 1 persen sejak Oktober, tingkat pengangguran hampir
mendekati rekor tertingginya dan risiko global meningkat.
Ketidakpastian geopolitik, khususnya
krisis di Ukraina Timur, mengancam akan merusak pemulihan ekspor
setidaknya untuk sementara waktu ini. Dan buntut dari krisis ini adalah
tingkat pengangguran yang tinggi serta daya beli masyarakat menurun.
Di Tiongkok, laju pertumbuhan kredit
yang lebih lemah pada bulan Juli, memacu spekulasi pemerintah untuk
menambah langkah-langkah kebijakan fiskal dan segera menerapkan
kebijakan pelonggaran moneter untuk membantu perekonomian. Saat ini
perekonomian Tiongkok masih cukup terbantu dari mulai pulihnya
permintaan dari AS dan Eropa dalam kegiatan ekspor. Hal ini diprediksi
akan mendukung target pertumbuhan pemerintah sebesar 7,5 persen i tahun
ini.
Melihat fakta ini, dapat kita lihat
secara garis besar bahwa saat ini pertumbuhan ekonomi di negara-negara
maju masih cukup terhambat lajunya dikarenakan faktor eksternal maupun
internal dalam negeri sendiri.
Sumber : Vibiznews