Bank sentral Tiongkok kembali memberikan
kejutan kedua di minggu ini dengan memberikan kemudahan kebijakan
moneter dengan memotong biaya pinjaman jangka pendek. Diterapkannya
kebijakan ini menjadi sebuah sinyal kekhawatiran di Beijing atas
melemahnya pertumbuhan ekonomi di negara tersebut.
Dengan diberlakukannya kebijakan ini
maka asumsi yang mengatakan bahwa Beijing akan terjebak dalam kondisi
perlambatan ekonomi seolah ditepis. Langkah serupa di masa lalu
sebelumnya juga sudah dilakukan oleh Bank Rakyat China yang cukup banyak
memakai peranan suku bunga dalam memperbaiki kondisi ekonomi negaranya.
Bank Rakyat China pada hari ini telah menurunkan suku bunga acuan atas repurchase agreement 14-hari,
sebesar 20 basis poin menjadi 3,5%. Bank sentral menggunakan
operasional pasar, yang jatuh pada setiap hari Selasa dan Kamis, untuk
menyesuaikan pasokan dan biaya dana dalam sistem keuangan.
Kebijakan ini dipandang sebagai sebuah
sinyal kebijakan yang signifikan. Kemungkinan penurunan suku bunga acuan
juga meningkat karena bank sentral saat ini mempertahankan suku bunga
PUAB yang lebih rendah.
Tanda-tanda baru dari perlambatan
ekonomi terbesar kedua di dunia ini juga muncul setelah sebuah laporan
yang telah rilis menunjukkan harga properti turun memasuki bulan keempat
berturut-turut dibulan Agustus lalu.
Data pasar perumahan yang lemah diikuti
indikator lain dari perlambatan Tiongkok selama akhir pekan, termasuk
penurunan tajam dari perkiraan terhadap hasil final pertumbuhan produksi
industri untuk bulan Agustus yang menjadi 6,9% pada basis tahunan
dimana kenaikan ini merupakan laju paling lambat sejak 2009 lalu.
Seperti diketahui sebelumnya, Bank
Sentral ini juga telah memberikan “mini” stimulus kepada sektor
perbankan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang sedang melambat.
Bank sentral menyediakan 500 miliar yuan (8.14 miliar dollar AS) dalam
bentuk likuiditas untuk lima bank terbesarnya. Dengan memberikan
likuiditas kepada bank-bank ini diharapkan akan meningkatkan pertumbuhan
kredit sehingga pertumbuhan ekonomi makro bisa tergenjot.
Para pemimpin Tiongkok sejauh ini
tampaknya telah berhasil menahan godaan dari penggunaan stimulus fiskal
besar atau pelonggaran moneter yang agresif untuk mendongkrak
perlambatan ekonomi. Sebaliknya, pihak berwenang justru lebih
mengandalkan belanja infrastruktur dan kredit, seperti memotong rasio
persyaratan cadangan untuk kreditur pedesaan dan kota.
Sumber : Vibiznews