Tuesday 5 July 2016

Brexit Picu Gelombang Anti-Uni Eropa di Hungaria

BESTPROFIT FUTURES (6/7) - Keterkejutan susulan dengan keputusan rakyat Inggris untuk berpisah dengan Uni Eropa telah menyebar ke negara Eropa Timur dimana gerakan nasionalis mengatakan keputusan Inggris telah memberikan kekuatan pada kampanye mereka terhadap kebijakan migrasi Uni Eropa.
Hungaria akan melaksanakan referendum dalam bulan-bulan mendatang untuk menentukan apakah menolak rencana kuota wajib yang diajukan Kanselir Jerman Angela Merkel yang akan memaksa Hungaria dan anggota Uni Eropa lainnya untuk menerima sebagian pengungsi.
Oposisi terhadap rencana kuota wajib Uni Eropa terkait pengungsi
Attila Szigeti, penduduk Bicske, sebuah kota yang terletak 37 kilometer sebelah barat Budapest, mengatakan ia akan memilih untuk menolak kuota tersebut.
Di tahun yang lalu, Szigeti, 28 tahun, menyaksikan langsung krisis migran yang telah membawa lebih dari sejuta orang ke Eropa dari tempat-tempat seperti Suriah, Iraq, dan Afghanistan. œAwalnya, kami tidak memiliki masalah dengan mereka. Gangguan yang ditimbulkan, ujarnya, hanya sedikit sekali. œMereka tidak menimbulkan hal yang serius, hanya mencuri jagung dari tepi ladangku.
Namun seiring dengan meningkatnya jumlah mereka, begitu pula dengan jumlah masalah yang ditimbulkan. œMereka berkumpul dalam kelompok-kelompok, membentuk gang, dan mengganggu serta mengancam penduduk lokal, ujar Szigeti. Sejak itu ia telah mencukur rambut di kepalanya, namun menolak apabila ia dianggap kelompok rasis berkepala plontos. œDengan penampilan seperti ini, saya tidak perlu melihat apa yang ada di belakang saya. Saya tidak perlu takut karena dengan cara begini, saya tampak seperti seorang yang tangguh.
Kaum migran berkata mereka bukanlah ancaman
Pengungsi dan kaum migran yang berada di kamp tampak terkejut setelah tahu mereka dianggap sebagai ancaman.
œMengapa kami tidak diizinkan untuk tinggal di Eropa, apakah kami juga bukan manusia seperti anda? Apakah kami tidak memiliki keinginan, tidak memiliki hak-hak seperti anak-anak anda? tanya Mano, seorang mahasiswa kedokteran berusia 22 tahun asal Afghanistan yang tiba di kamp minggu lalu.
Mano meninggalkan Kabul setelah kaum ekstrimis membunuh saudara lelakinya karena bekerja sebagai seorang penerjemah untuk tentara Perancis. Sekarang ia memendam rasa benci karena ada beberapa orang di Perancis dan tempat lainnya di Eropa yang mengutarakan kekhawatirannya terhadap terorisme sebagai alasan untuk menolak pengungsi. œApa yang dapat kami bawa bersama kami? Tak satupun. Kami juga ingin damai. Itulah mengapa kami meninggalkan negri kami, ujar Mano.
Sumber : VOA